Indienesia – Bertambah dekatnya pelaksanaan G-20, di mana Indonesia memegang presidensinya, menghadirkan kontroversi mengenai perlu tidaknya Presiden Rusia Vladimir Putin diundang ke Bali. Kontroversi itu sehubungan dengan serangan Rusia ke Ukraina yang menjadi perang terbuka dan hingga saat ini belum usai.
Sebagian kalangan di Indonesia menyalahkan Rusia, dalam hal ini Putin, yang mereka anggap sebagai agresor ke Ukraina. Atas alasan ini, mereka berpendirian Indonesia sebagai negara yang menganut politik luar negeri bebas aktif sudah seharusnya menolak kehadiran Putin di ajang KTT G-20 mendatang.
Kalangan yang lain berpendirian sebaliknya, yaitu Indonesia harus mengundang Putin. Alasannya, Rusia adalah anggota G-20 yang berhak hadir terlepas adanya invasi ke Ukraina.
Bagaimana sebaiknya sikap kita kaum patriotik menghadapi situasi yang timbul saat ini? Menurut hemat penulis, kita harus berpegang teguh kepada politik luar negeri bebas aktif. Bebas aktif bukanlah suatu politik netral akan tetapi jelas suatu politik yang memihak, memihak kepada kekuatan-kekuatan anti kolonialisme dan imperialisme.
Di samping itu kita mengetahui faktor penyebab invasi Rusia, karena pihak Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris mencoba menarik Ukraina agar masuk ke dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Bila hal ini terjadi, maka keamanan dalam negeri Rusia akan terancam mengingat perbatasan antara Rusia dan Ukraina bersinggungan. Kondisi ini berpotensi NATO menempatkan rudal-rudalnya di kawasan Ukraina. Selain itu, jalur pipa gas Rusia di Ukraina akan terancam.
Dari penjelasan singkat tersebut, wajar bila Rusia melakukan invasi ke Ukraina karena kepentingan domestiknya terancam. Yang menjadi pertanyaan mengapa AS (NATO) harus menarik Ukraina untuk bergabung, yang tentu menimbulkan reaksi keras dari Rusia.
Apakah pernyataan Presiden Rodrigo Duterte beberapa waktu yang lalu dibenarkan oleh kondisi saat ini. Duterte menyatakan bahwa, “If we choose America it means war!” Bila kita memilih Amerika akan berarti perang.
Kembali ke persoalan G-20, seyogyanya apa yang akan dibicarakan di forum tersebut adalah masalah ekonomi, bukan masalah politik. Namun, apa mau dikata AS dan sekutu-sekutunya sudah membuat forum tersebut menjadi ajang politik.
Hal tersebut wajar saja karena kebijakan ekonomi yang dilaksanakan oleh Presiden Joko Widodo selama ini, telah menohok langsung kepentingan-kepentingan ekonomi negara-negara adikuasa Barat. Seperti telah terbukti dalam sejarah, kepentingan politik pada dasarnya ditentukan oleh pertimbangan ekonomi pada suatu saat.
Kolonialis Belanda, misalnya, mati-matian bercokol di Irian Barat karena kepentingan-kepentingan ekonomi mengharuskannya mempertahankan politik kolonialnya di wilayah itu. Sebaliknya, Indonesia melalui politik Trikora berusaha memasukkan Irian Barat ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Sebab, secara ekonomi Irian Barat penuh dengan kekayaan alam yang sangat diperlukan untuk pembangunan.
Dari pertimbangan tersebut, menjadi jelas bahwa tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak mengundang Presiden Vladimir Putin dari Rusia ke perhelatan G-20.
Boikot Blok Barat
Risiko terburuk bila Putin tetap diundang adalah negara-negara blok Barat yang dipimpin oleh AS kemungkinan akan memboikot dan absen dalam perhelatan G-20. Presiden AS Joe Biden dan PM Inggris Boris Johnson kemungkinan akan menolak hadir jika Putin diundang.
Khusus untuk Presiden Prancis Emmanuel Macron, menurut hemat penulis, kecil kemungkinan turut memboikot karena sikapnya belakangan ini secara terbuka menyatakan kebijakan-kebijakan AS dalam memimpin blok Barat sudah gagal. Prancis secara otomatis tidak akan mengikuti lagi seruan-seruan yang diberikan oleh Amerika.
Bagaimana bila hal yang terburuk terjadi yaitu Presiden Biden beserta pendukung-pendukungnya tidak hadir dalam perhelatan G-20? Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia?
Menurut hemat penulis, sebagai negara yang berdaulat dalam bidang politik dan ekonomi, silakan saja bila mereka tidak bersedia hadir seandainya Indonesia tetap mengundang Vladimir Putin. Indonesia memegang presidensi G-20 juga bukan karena dorongan AS, melainkan terpilih secara demokratis.
Minus AS dan sekutunya, perhelatan G-20 tetap dapat berjalan untuk memperbaiki sistem perekonomian dunia agar lebih berimbang di antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Sejarah membuktikan, tanpa hadirnya Amerika dam sekutunya saat Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung dan Konferensi Non-Blok 1961 di Beograd, keduanya dapat berlangsung dengan mulus. Jadi kita tidak perlu berkecil hati dan patah semangat bila terjadi hal-hal yang terburuk tadi.
Sebaliknya hal tersebut akan berdampak negatif bagi AS dan sekutunya. Dalam kondisi demokrasi Barat tengah terpuruk, kepemimpinan Amerika mendapat kritik keras dari negara-negara yang dahulu adalah sekutunya. Oleh sebab itu Amerika Serikat tidak mungkin lagi menepuk dada sebagai negara adikuasa yang dengan seenak hatinya dapat mendikte kemauannya di dunia internasional saat ini.
Belum lagi bila kita memperhitungkan kekuatan-kekuatan negara yang bukan anggota G-20 yang saat ini telah berkembang dengan pesat baik secara politik bahkan kekuatan ekonominya. Kita tidak dapat melihat dengan sebelah mata kekuatan Tiongkok yang ekonominya boleh dikatakan sangat berpengaruh di dunia. Begitu pula dengan negara lain seperti Uni Emirat Arab, bahkan Korea Utara di bawah kepemimpinan Presiden Kim Jong-Un yang berkembang sangat luar biasa.
Indonesia pun saat ini sudah bukan lagi seperti Indonesia di era 1960-an yang inflasinya mencapai 1.000%, namun di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno tetap dapat survive dan dapat merebut kembali Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan NKRI. Walaupun saat ini masih berperang melawan invasi Covid-19, perekonomian Indonesia ternyata berada dalam keadaan membaik dan inflasi tetap terkendali.
Kembali kepada pokok masalah, Indonesia tidak perlu ragu-ragu untuk tetap mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai anggota G-20 untuk hadir di KTT yang akan digelar di Bali. Selamat bertukar pikiran di G-20 untuk memperbaiki ekonomi dunia di bawah kepemimpinan Indonesia.
_____________________
Oleh: Guntur Soekarnoputra, Alumni GMNI dan Pemerhati Sosial. Disarikan ulang dari Beritasatu.