Indienesia – Keluar dari inflasi yang sangat tinggi dan hutang yang tak terbayar, membuat pemerintahan Orde Baru memiliki strategi pembangunan ekonomi yang sangat terbatas. Legitimasi rezim ini sangat bergantung pada bantuan luar negeri dan investasi asing guna menurunkan hiper infasi dan pertumbuhan ekonomi negatif. Tanpa pengendalian inflasi yang ketat dipastikan rezim ini kehilangan legitimasinya dan dapat kolaps dengan segera. Suasana perang dingin saat itu kemudian menyambungkan Orde Baru dengan pihak Barat dan mengikuti arah strategi pembangunan yang diberikan oleh para penasihat ekonomi yang berwatak pasar bebas.
Diawali dengan pembuatan UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing Indonesia menyiapkan diri sebagai tempat industri. Indonesia kemudian secara pragmatis memulai pembangunannya dengan melalui jalan pertama, yakni Buruh Murah. Hasilnya cukup impresif, dimana industri manufaktur ekonomi Orde Baru kemudian tumbuh secara stabil. Industri manufaktur naik dari 8 persen menjadi 20 persen, dan pada 1991 nilai output manufaktur melebihi hasil pertanian untuk pertama kalinya.
Selama 25 tahun rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,5 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang stabil ini membawa penghasilan penduduk per kapita US$ 740 pada tahun 1994, sehingga menempatkan Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah (Bank Dunia: 1995). Indonesia yang awal Orde Baru masuk kategori negara berpendapatan bawah (low income) dengan pengahasilan US$ 165, kemudian dianggap berhasil masuk kedalam negara menengah bawah (low middle income).
Pasca reformasi kemudian terjadi perubahan lansekap sistem politik Indonesia, dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Perubahan ini membawa tumbuhnya kekuatan baru sebagai akibat dari politik elektoral. Politik elektoral yang ternyata sangat mahal ini berjalan dengan mengikuti logika ekonomi rente yang melekat dengan politik kewenangan pengelolaan sumber daya alam.
Kemudian tampillah jalan ekonomi kedua dari politik pembangunan kita yakni Rente Sumber Daya Alam, dimana aktivitas ekonomi sangat bergantung dari eksploitasi sumber daya alam primer. Kewenangan untuk memberikan Hak Guna Usaha Perkebunan diumbar secara serampangan, dan demikian juga yang terjadi pada kewenangan untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan. Sengketa di arbitrase internasional (ICSID) antara pemerintah Indonesia melawan Churchill Mining Plc di tahun 2012 karena sengkarut kewenangan perizinan menjelaskan bahwa merambahnya ekonomi rente dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam berjalan sangat pelik.
Politik elektoral kemudian membuat tujuan kedaulatan rakyat bergeser maknanya, dimana kewenangan kekuasaan dieksploitasi dan melupakan tujuan untuk kesejahteraan rakyat. Izin Usaha Pertambangan (IUP) kemudian berubah menjadi “Izin Usaha Pilkada”, dimana ekonomi rente memaksa kepala daerah untuk mengembalikan sumberdaya ekonominya selama pemilihan kepala daerah. Pada periode reformasi ini ribuan izin pertambangan dan perkebunan tumbuh secara eksponensial dan kemudian memperburuk tata kelola sumber daya alam. Indonesia memasuki periode kutukan sumber daya alam (natural resource curse) dimana sumber daya alam yang merupakan modal dasar kesejahteraan rakyat menjadi rusak dan hanya dinikmati oleh segelintir elit.
Reformasi ini merupakan periode kelam pengelolaan sumber daya alam kita. Berdasarkan analisis spasial Forest Watch (FWI), luas konsesi perizinan sampai dengan 2017 mencapai 71,2 juta ha atau sekitar 37 persen seluruh daratan. Tampil mengemuka dalam penggunaan lahan secara eksesif adalah “dwitunggal sawit-tambang” dimana luas konsesi perkebunan kelapa sawit sampai tahun 2017 mencapai 19 juta ha dan konsesi pertambangan 36,5 juta ha. Pada periode 2001 sampai 2018 Indonesia kehilangan 25,6 juta ha tutupan pohon (cover tree) dan deforestasi hutan alam sebesar 5,7 juta ha.
Karena menggunakan lahan yang sangat luas, “dwitunggal sawit-tambang” ini kemudian banyak mengakibatkan konflik agraria. Masyarakat lokal sebagai pemangku utama pembangunan kehilangan sumber mata pencahariannya dan juga mengakibatkan marginalisasi masyarakat adat. Musnahnya hutan juga mengakibatkan banyak penduduk yang bergantung kepada hasil hutan kehilangan bahan pangan tradisional mereka. Ini model pembangunan yang sunguh memakan korban, baik manusia dan juga alam. Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat hingga tahun 2017 terdapat 652.738 kepala keluarga yang terdampak akibat konflik agraria.
Tanpa perlu mengutuk-ngutuk apa yang sudah terjadi dengan rusaknya tata kelola sumber daya alam, Indonesia perlu untuk merubah haluan jalan ekonomi rente sumber daya alam. Indonesia perlu jalan ketiga, dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan mengaktivasi atau memanfaatkan ilmu pengetahuan guna meningkatkan nilai sumber daya yang ada dengan jalan Ekonomi Hayati (bioeconomy). Ekonomi hayati merupakan jalan ilmu pengetahuan dengan memanfaatkan hasil pertanian atau perkebunan yang ada dengan memberikan nilai tambah (biomass valorization) dari tiap rantai suplai (value chain), dimana produksi primer sumber daya hayati dikonversi melalui pemrosesan dan mengalami peningkatan nilai dan komersialisasi di pasar (Lewandowski, 2018). Dengan jumlah biomassa yang sangat besar yang dihasilkan dari pertanian dan perkebunan Indonesia sejatinya dapat melewati kecanduan ekploitasi sumber daya alam pimer dan melewati jebakan ekonomi pendapatan menengah (middle income trap).
Biomassa yang dihasilkan dari produksi pertanian maupun perkebunan saat ini menjadi perhatian negara-negara maju. “Kasta terendah” dari biomasa ini adalah potongan-potongan kecil kayu (wood chips) yang banyak digunakan sebagai bahan bakar, memasak dan juga pembangkit listrik. Sedikit perubahan teknologi kemudian meningkatkan nilai ekonomi dari biomassa dengan menjadi industri yang lebih bernilai lebih seperti pellet dan arang kayu (wood charcoal), karbon aktif (activated carbon) dengan beberapa produk samping seperti asam cuka (wood vinegar), accetic acid maupun gas sintetis (syngas).
Produk-produk samping biomassa ini dapat ditingkatkan lagi nilainya hingga mencapai “kasta tertinggi” yaitu untuk medis dan kosmetik. Di bidang medis misalnya, Indonesia sangat berpeluang untuk mengembangkan ekonomi hayati dengan memanfaatkan tanaman ganja (cannabis sativa) yang tumbuh subur di Indonesia. Publikasi ilmiah dengan kata kunci “cannabis” atau “cannabinoid” dilihat dari abstrak atau judulnya pada tahun 2019 mencapai 3.500 publikasi dan tahun 2020 ini diperkirakan penelitian tersebut akan lebih banyak lagi. Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang ada tentunya Indonesia bisa menjadi sentra industri kesehatan (biomedis) bagi dunia.
Pengembangan ekonomi hayati sering sejalan dengan perlunya rekayasa mengenai kilang hayati (biorefinery) dimana kilang hayati ini bisa melalui proses termokimia (thermochemical) maupun biokimia (biochemical) yang selanjutnya dapat diproses menjadi bahan bakar, energi, biomaterial, bioplastik dan banyak produk lainnya dan ini berkesesuaian dengan prinsip ekonomi sirkular (circular economy) dimana kegiatan ekonomi harus menghemat sumber daya dan energi dan juga meminimalkan dampak lingkungan.
Perancis misalnya telah mengembangkan kilang hayati yang terintegrasi dalam satu kawasan di Champagne-Ardenne, dimana kilang hayati yang ada merupakan kerjasama antara koperasi petani dan beberapa industri dengan bahan baku utama dari produk pertanian dan sisa-sisa produk pertanian seperti gandum, sugar beet, dan juga alfalfa. Kilang hayati yang dikenal dengan Bazancourt-Pomacle biorefinery ini, seluruh industri yang terlibat berkolaborasi baik dalam riset, produksi maupun distribusi atas produk produk maupun produk sampingan yang ada (Pierre-Alain Schieb dkk, 2014).
Pada awalnya ekonomi hayati bertumpu biomassa generasi pertama (1st generation) degnan memanfaatkan produk utama pertanian dan perkebunan yang ditingkatkan nilainya untuk menjadi komoditas ekonomi. Pada generasi pertama ini ada kompetisi antara pangan dan energi dari biomassa, sehingga menimbulkan persoalan etis jika terus dilanjutkan. Biodisel yang berasal dari industri sawit, bunga matahari, jagung yang digadang-gadang untuk menggantikan bahan bakar solar termasuk kedalam generasi pertama ini.
Perkembangan teknologi biomassa generasi kedua kemudian memanfaatkan residu pertanian atau perkebunan yang berupa lignoselulosa biomassa (biomass lignocellulosic) menjadi bahan bakar (biofuel), dan pada kilang hayati generasi kedua (2nd generation) inilah diharapkan kehadiran bahan bakar yang ramah lingkungan yang sesuai dengan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memperlakukan biofuel sebagai karbon netral dan mendukung agenda pembangunan berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia sendiri meski tidak terlalu tegas, sudah menyiapkan kebijakan yang mengarah kepada jalan ketiga tersebut dengan berusaha mengadopsi upaya pembangunan rendah karbon kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2020-2024) yang mendukung Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2020-2025). Inisiasi pemerintah melalui Low Carbon Development Initiative (LCDC). Melalui pembangunan rendah karbon dapat dihasilkan pertumbuhan PDB rata-rata 6% per tahun hingga tahun 2045. Masalahnya adalah didalam praksis, pemahaman pemerintah mengenai ekonomi hayati atau pembangunan rendah karbon tidak nampak.
Program pemerintah untuk membangun lumbung pangan di Kalimantan, wacana membangun lumbung pangan hanya sebatas penyiapan penyediaan ketahanan pangan, tidak ada paparan mengenai pemanfaatan sisa-sisa pertanian kemudian diolah dengan kilang hayati maupun pembangungan energi terbarukan. Dalam program ini waktu sepertinya berhenti di tiga puluh tahun lalu, menampik perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu rekayasa hayati yang sudah sangat berkembang dimana peningkatan nilai dari setiap rantai suplai menjadi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani.
____________________
Oleh: Yusra Abdi, Peneliti pada Energy and Natural Resources Institute of Indonesia (ENRI Indonesia)