Home » Catatan Pinggir Moto GP Mandalika

Catatan Pinggir Moto GP Mandalika

by Indienesia
Published: Last Updated on

Indienesia – Setelah perlombaan Moto-GP di Sirkuit Mandalika berakhir, di mass media dan media sosial nama Miguel Oliveira sebagai juara viral. Namun, selain Miguel, ada nama lain yang juga menjadi terkenal bahkan mungkin sangat terkenal karena ulahnya yang tampaknya aneh, yakni seorang perempuan baya yang disapa Rara atau Roro. Nama lengkapnya Raden Rara Istiati Wulandari. Ia menjadi terkenal karena tugasnya yang tidak ringan, yaitu sebagai pawang hujan dan bertanggung jawab untuk mengatur hujan selama berlangsungnya Moto-GP di Mandalika.

Seperti kita ketahui, pawang hujan banyak dikenal di negara-negara dunia Timur seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, juga Filipina. Menurut teori metafisika, pawang sebenarnya tidak dapat menunda atau meniadakan hujan. Ia hanya dapat memindahkan hujan ke arah empat mata angin Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Sudah bukan rahasia umum, pada acara-acara penting kenegaraan sejak era Bung Karno sampai dengan saat ini, pasti ada seorang pawang yang bertugas “mengendalikan” bila sewaktu-waktu hujan turun.

Acara-acara kenegaraan, seperti peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan 17 Agustus, biasanya ada seorang pawang yang bertugas di Istana Merdeka. Yang penulis ketahui, pawang yang selalu siaga pada Peringatan 17 Agustus era Bung Karno sebagai Presiden RI ialah pelayan Istana Kepresidenan Jakarta, yang punya kemampuan menjadi pawang hujan. Ia bernama Pak Sakimin. Dari mana Ia mendapatkan ilmu, penulis kurang tahu.

Namun, nyatanya setiap peringatan Kemerdekaan RI, ia duduk di bawah sebatang pohon mahoni, dekat tempat upacara dan selama upacara pagi dan sore ia berkomat-kamit membaca mantra-mantra, sambil merobek-robek berhelai-helai kertas-kertas bertuliskan huruf Arab. Ketika penulis tinggal di Bandung karena kuliah di ITB jurusan Teknik Mesin, iseng-iseng penulis berguru kepadanya untuk menjadi pawang hujan, dan dengan mengikuti apa-yang ia ajarkan, penulis punya kemampuan memindahkan hujan dengan cara yang paling sederhana.

Baca Juga:   Ini Syarat Naik Kereta Api dan Pesawat Saat Mudik Lebaran

Caranya, dengan menggunakan sebatang lidi untuk menusuk bawang putih, bawang merah, dan cabai merah sebagai penunjuk arah ke mana hujan akan dipindahkan. Penulis heran, mengapa dapat menjadi pawang hujan karena pada dasarnya penulis tidak percaya adanya kekuatan metafisika apalagi ilmu klenik. Di samping itu, memang ada beberapa mantra yang harus diucapkan dalam hati, di samping permohonan kepada Allah SWT, agar berkenan memindahkan hujan ke mana cabai merah diarahkan.

Bila saja permohonan penulis dikabulkan, yang berarti hujan di tempat penulis akan reda karena berpindah, entah mengapa terasa tubuh menjadi lelah layaknya habis berolahraga lari atau renang. Jadi, di era itu bila ada acara keluarga di kediaman penulis pada musim hujan, penulis bertindak sebagai pawang agar acara tidak terganggu hujan.

Kemampuan ini penulis rasakan manfaatnya setelah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berhenti sebagai gubernur yang sebelumnya kediaman penulis di Jalan Cempaka Putih tidak pernah kebanjiran menjadi langganan banjir. Maka, setiap hujan akan turun penulis segera menyarang sebagai pawang hujan. Kemampuan itu berlangsung terus hingga penulis menginjak usia 60-an tahun. setelah itu, penulis tidak kuat lagi ”menahan” hujan karena terasa amat melelahkan.

Menurunkan Ilmu Kepada Cucu

Ketika usia cucu lelaki penulis mencapai 17 tahun, yang bersangkutan penulis tawari menjadi pawang hujan, rupanya ia tertarik dan bersedia mempelajari “ilmu” memindahkan hujan yang penulis kuasai. Pertama-tama, ia penulis ajari menusuk bawang putih, bawang merah, dan cabai merah yang kualitasnya masih segar. Kemudian, penulis mengucapkan ayat-ayat yang harus diucapkan dalam hati.

Ternyata, dengan cepat Ia menguasai hal tersebut sehingga pada suatu perhelatan keluarga di kediaman Cempaka Putih, ketika itu musim hujan penulis melakukan uji coba kemampuannya memindahkan hujan. Walaupun masih didampingi, dia ternyata berhasil melakukan kewajibannya dengan baik. Sejak saat itu, bila ada acara-acara keluarga yang membutuhkan seorang pawang hujan cukup dilakukan cucu penulis. Pada mulanya memang ia agak kaget karena dalam melakukan tugasnya tubuh terasa lelah dan lemas.

Baca Juga:   Warga Palestina Dihukum Seumur Hidup karena Bunuh Orang Prancis-Israel

Penulis katakan itu hal biasa dengan banyak berlatih hal tersebut akan dapat diatasi. Dalam perkembangannya, ia ternyata mencoba mengadakan modifikasi sehubungan bahan-bahan yang harus digunakan. Pengalamannya, ketika ia berkunjung ke AS di Kota New York, ketika hendak kembali ke hotel ternyata turun hujan deras. Saat hendak memindahkan hujan, ternyata di sana tidak ada batang lidi, bawang putih, bawang merah, juga cabe merah. Setelah berpikir sejenak mengenai media apa yang akan digunakan, Ia melihat di trotoar ada sebongkah batu kali, tanpa berpikir panjang ia mengambil sebuah batu kemudian dengan doa-doa yang biasa digunakan, ia lemparkan batu kali berlawanan arah dengan tujuan hotel.

Ternyata, tanpa diduga ia berhasil memindahkan hujan sehingga ia dengan leluasa dapat berjalan menuju hotel tanpa terkena air hujan. Sampai saat ini, Syahandra begitu nama cucu penulis, bila ada acara yang memerlukan pawang hujan, dialah yang melakukan tugas tersebut. Terakhir, sebelum Ia berangkat ke Jepang untuk melanjutkan studinya, pada November tahun lalu, dalam rangka hari ulang tahun penulis, ia sukses melakukan tugasnya sebagai pawang di kawasan Istana Cipanas Sindang Laya sehingga keseluruhan acara dapat berjalan lancar dan sukses.

Sejak pagi hingga sore hari matahari tetap bersinar tanpa hujan. Sebenarnya, pihak Istana Cipanas sudah menawarkan kepada penulis bila diperlukan adanya seorang pawang hujan. Namun, penulis sudah merasa cukup dengan cucu sebagai pawang hujan.

Berbeda Teknik

Dari tulisan di atas, pembaca paham adanya bermacam-macam tipe pawang, dan cara mereka memindahkan hujan. Misalnya Rara di Mandalika. Selain berjalan memutar Sirkuit, ia juga memukul-mukul mangkuk berisi air sambil komat-kamit membaca doa-doa. Sakimin lain lagi. Ia merupakan pawang yang posisinya stasioner di suatu tempat, dengan merobek kertas-kertas sepanjang tugasnya yang bertuliskan huruf Arab. Ia komat-kamit memindahkan hujan dari Istana Merdeka. Syahandra cucu penulis lain lagi tekniknya, seperti penjelasan di atas, bahkan dia memiliki teknik sendiri dengan menggunakan batu.

Baca Juga:   Harga minyak jatuh sekitar 2 dolar, dipicu kekhawatiran resesi

Di Istana Jakarta, ada seorang lagi yang mempunyai kemampuan memindahkan hujan. Dia anggota kepolisian di Detasemen Kawal Pribadi (DKP) bernama Ida Bagus Putu Ngurah Djoni seorang Bali. Dia selalu diminta Ibu Fatmawati untuk menjadi pawang hujan bila Ibu Fat mempunyai acara, khususnya di rumah Jalan Sriwijaya Kebayoran Baru. Seperti ketika menikahkan Sukmawati dengan Deddy Suharto pada 6 November 1969, Bung Karno dapat hadir walaupun dalam status tahanan Orba dan sebagai wali menikahkan langsung kedua mempelai.

Ida Bagus dalam melaksanakan tugasnya dibantu pedande (pendeta) Bali, yaitu dengan cara duduk bermeditasi, sedangkan asisten berkeliling halaman rumah sambil membawa dupa kemenyan. Pawang-pawang itu memiliki teknik berbeda. Namun, tujuannya sama, yaitu memindahkan hujan ke jurusan yang mereka kehendaki: Utara, Selatan, Timur, atau Barat. Di antara pembaca, pasti ada yang tidak percaya akan kemampuan penulis sebagai pawang hujan. Namun, syukur alhamdulillah saat ini penulis sudah pensiun dari dunia pawang hujan sehingga tidak perlu membuktikannya kepada para pembaca. Aneh tapi nyata!

____________________

Disarikan ulang dari Media Indonesia, tulisan opini Guntur Soekarnoputra.

 

Lainnya Dari Indienesia

Copyright © 2023 Indienesia. All Rights Reserved.

close