Senin, 4 April 2022 – 05:21 WIB
VIVA – Pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) memberlakukan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax mulai 1 April 2022. Kebijakan ini menuai kritik karena dikhawatirkan akan membebani ekonomi masyarakat di tengah pandemi COVID-19.
Politikus Gerindra sekaligus Ketua Harian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur, Bambang Haryo Soekartono atau BHS menilai kenaikan harga BBM memiliki dampak multi sektoral sehingga membebani ekonomi masyarakat.
Dia menyinggung, amanat pasal 33 UUD 1945 bahwa campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga BBM mestinya jadi kewenangan yang mengutamakan asas perlindungan rakyat. Bukan sebaliknya, malah menyengsarakan rakyat.
Menurutnya, pemerintah saat ini bisa bercermin di era sebelumnya mulai zaman Presiden Soeharto sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kata dia, era Soeharto harga BBM mulai 1980 sampai dengan 1990 sebesar Rp150 perliter. Harga itu sama persis dengan di Arab Saudi.
“Pada 1998 keadaan krisis moneter, dolar AS capai Rp16.000 lebih, harga BBM oktan 90 pada waktu itu terpaksa dinaikkan dari Rp700 perliter jadi Rp1.200 perliter. Dan, pemerintahan Presiden Habibie turunkan kembali harga BBM jadi Rp600 perliter,” kata BHS, dalam keterangannya yang dikutip pada Senin, 4 April 2022.

Proses pengisian avtur ke pesawat/Bisnis aviasi Pertamina
Dia melanjutkan, era Presiden Abdurahman Wahid alias Gusdur juga sempat menurunkan harga BBM pada kurun waktu tahun 2000 dari Rp1.000 perliter jadi Rp600 perliter. Bahkan, era pemerintahan SBY sempat menurunkan tarif pada 2008 dari Rp5.500 perliter jadi Rp4.500 perliter. Pun, dalam 10 tahun hanya terjadi satu kali kenaikan pada tahun 2013.